English version
Press Articles
See also:

UNODC memulai dukungan untuk memerangi kejahatan kehutanan di Indonesia


Jakarta (Indonesia), 8 July 2010
- Asia Tenggara adalah rumah bagi beberapa jaringan hutan hujan yang paling luas dari hutan hujan tropis dan beragam jenis flora dan fauna. Indonesia dihuni hutan hujan tropis terbesar ketiga dan rumah untuk 10 persen dari lahan hutan global. Sayangnya, hutan di negara ini juga merupakan salah satu konservasi degan tingkat deforestasi tertinggi di dunia.

Meskipun hutan lah yang telah memungkinkan Indonesia menjadi pemasok kunci untuk kayu legal bagi meningkatnya permintaan pasar dunia, jumlah pasokan yang menurun dan penegakan hukum yang tidak memadai mengakibatkan negara juga menjadi sumber utama produksi kayu ilegal.

Departemen Kehutanan Indonesia memperkirakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir Indonesia telah kehilangan 1,6-2.8 juta hektar lahan per tahun. Hal ini diakibatkan oleh penebangan liar dan konversi lahan yang dengan kata lain, kurangnya manajemen yang efektif dan penegakan hukum. Ini berarti setara dengan hilangnya 3-5 hektar lahan hutan setiap menit.

Tindakan sigap harus segera diambil untuk memberantas kejahatan-kejahatan ini sebelum simpanan hutan regional menghilang sama sekali.

Pemerintah Indonesia dan Pemerinah Norwegia telah memimpin usaha ini pada pertemuan di Oslo, Mei 2010 dengan menandatangani perjanjian kerjasama untuk mengurangi deforestasi di Indonesia, yang didukung oleh komitmen miliaran dolar.

Pada saat yang sama, di Indonesia, Mette Kottmann, Kanselir Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia, Mette Kottmann dan Gary Lewis, Perwakilan Regional UNODC menandatangani perjanjian pendanaan untuk proyek UNODC; Countering illegal logging and the linkage between forest crimes and corruption in Indonesia.

Proyek tiga tahun yang benilai 2,3 juta dolar Amerika ini bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum di Indonesia dan kapasitas anti-korupsi. Dipadukan dengan penelitian yang sedang berlangsung pada penegakan hukum dan praktek-praktek korupsi yang dilakukan di bawah proyek Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation - REDD (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan - REDD), proyek baru ini merupakan cikal bakal program jangka panjang yang dirancang untuk mengatasi ancaman pembalakan liar dan perdagangan satwa liar.

Selanjutnya, pada tanggal 23 dan 24 Juni 2010, UNODC dan Pemerintah Indonesia mengadakan lokakarya dengan tema "Mengidentifikasi respons nasional yang efektif untuk kejahatan terhadap satwa liar dan kejahatan kehutanan: kasus di Indonesia".

Lokakarya ini memungkinkan wakil-wakil pemerintah, Sekretariat Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa Liar dan Flora Langka (CITES), Telapak, Transparency International, Organisasi Kepabeanan Dunia (WCO) serta organisasi-organisasi lokal dan internasional lainnya untuk membicarakan bagaimana Indonesia dapat melindungi keanekaragaman hayati dan kekayaan sumber daya alamnya dari ancaman yang ditimbulkan oleh jaringan kriminal terorganisir.

Andhika Chrisnayudhanto, Deputi Direktur Jenderal, Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Departemen Luar Negeri, mengatakan bahwa "dua hari terakhir ini merupakan latihan pembelajaran yang bermanfaat untuk semua peserta yang menghadiri lokakarya". Dia menambahkan bahwa "berbagi pengetahuan antara para pemangku kepentingan yang beragam diperlukan untuk membangun respon umum terhadap kegiatan kriminal terorganisir".

Seorang peserta, Anna Sinaga, yang adalah seorang peneliti untuk program Penegakan Hukum Terpadu dan Tata Kelola Hutan di Center for International Forestry Research (CIFOR) mengatakan bahwa "kejahatan hutan tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan instrumen kehutanan saja. Yang diperlukan adalah kerjasama antara pihak-pihak seperti organisasi non-pemerintah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan lain-lain".

Para peserta menyimpulkan lokakarya dengan merekomendasikan bahwa kapasitas peradilan pidana nasional saat ini untuk menanggapi kejahatan kehutanan dan kejahatan terhadap satwa liar harus dinilai. Penilaian tersebut akan menghasilkan upaya yang terus menerus oleh UNODC, INTERPOL, Sekretariat CITES, Organisasi Kepabeanan Dunia serta Bank Dunia, dan menghasilkan alat penilaian yang terstandarisasi.