English version
See also:

 

 

 

 

 

Publikasi UNODC membahas dampak korupsi terhadap lingkungan



Jakarta (Indonesia), 9 April 2012
- Indonesia masih mengalami begitu banyak tindak kriminal yang mengakibatkan deforestasi. Diperkirakan kerugian negara akibat pembalakan liar mencapai 1,6-2,8 hektar setiap tahunnya (kerugian ini setara dengan kehilangan hutan seluas lapangan sepak bola setiap 4 sampai 7 menit). Pembalakan liar terjadi akibat praktik korupsi, kerjasama antara para oknum pejabat dan keterlibatan sindikat kejahatan transnasional yang terorganisir.

Tanggapan UNODC untuk masalah ini melibatkan sejumlah pendekatan: bekerja sama dengan mitra pemerintah dan penegak hukum, melakukan kajian, memfasilitasi diskusi antara pihak yang terkait, dan meningkatkan kesadaran lokal serta internasional. Semua intervensi ini dimaksudkan untuk menarik perhatian mengenai adanya hubungan kuat antara korupsi dan perusakan lingkungan.

Sejalan dengan pendekatan ini, UNODC menerbitkan publikasi 'Corruption, Environment and the United Nations Convention against Corruption' ('Korupsi, Lingkungan Hidup dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi' ). Tersedia dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, laporan ini mengkompilasi pandangan dari enam ahli dari seluruh dunia seperti yang dipresentasikan pada acara "Dampak Korupsi Terhadap Lingkungan dan UNCAC sebagai Alat untuk Mengatasi", pada Konferensi keempat Negara-Negara Pihak pada Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) di Marrakesh, Maroko, pada bulan Oktober 2011. Diselenggarakan oleh UNODC Indonesia dan kantor bidang Korupsi dan Kejahatan Ekonomi, kantor pusat UNODC di Wina, kegiatan ini menerima dukungan dari Pemerintah Norwegia dan Indonesia.

"Publikasi ini menyoroti dampak korupsi terhadap lingkungan," kata Bapak Ajit Joy, Country Manager UNODC Indonesia. "Para penulis yang semua ahli di bidangnya menjabarkan bagaimana korupsi merupakan ancaman serius terhadap lingkungan. Mereka juga kritis melihat tanggapan terhadap korupsi di bidang lingkungan dan menyarankan cara-cara dimana UNCAC dapat digunakan untuk mengatasi ini."

Pada bab yang berisi penjabarannya, Bapak John Sandage, Direktur Divisi Urusan Perjanjian dari kantor pusat UNODC berpendapat bahwa "Melawan korupsi untuk melindungi lingkungan dan memastikan pembangunan berkelanjutan bukanlah pilihan, melainkan suatu keharusan".

Dalam laporan UNODC, para ahli menunjukkan bagaimana korupsi memfasilitasi kejahatan lingkungan termasuk perdagangan ilegal satwa langka, persediaan air, eksploitasi minyak, kehutanan, perikanan dan pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya.

Praktik umum korupsi dibidang lingkungan diantaranya adalah penyalahgunaan dana program dan penyuapan dalam penerbitan izin dan lisensi untuk eksploitasi sumber daya. Pemerintahan yang lemah, menurut para ahli, adalah fasilitator utama dari kejahatan lingkungan - dan pada gilirannya dapat memberikan dampak pada pendapatan negara. Tapi ini bukan satu-satunya faktor.

Pada bagian presentasinya, Ibu Tina Søreide, Peneliti Senior di Chr. Michelsen Institute di Bergen, Norwegia, menguraikan soal korupsi dan arus modal terlarang di sektor perminyakan dan berpendapat bahwa sebagian kerugian negara diakibatkan oleh kelemahan tata kelola sektor perminyakan lokal.

"Dengan adanya banyak 'pemain' dan uang yang berpindah antar batas negara, korupsi di bidang perminyakan adalah masalah internasional," kata Ibu Tina. "Pendapatan dari sektor perminyakan yang dicuri digunakan untuk membeli kekuasaan dan melemahkan mekanisme demokrasi."

Beliau menyimpulkan bahwa "Tantangan yang berhubungan dengan korupsi di bidang perminyakan terlalu besar untuk diatasi sendiri oleh negara berkembang dengan struktur pemerintah yang lemah. Tanggung jawab Politik terletak kuat di ibu kota-ibu kota seperti London dan Washington, DC, dan negara-negara seperti Swiss dan Luksemburg, dimana uang dapat disembunyikan dan dimana pemerintah membenarkan terjadinya praktik penyaluran dana terlarang".

Pada publikasi ini, dua wakil Indonesia berbicara tentang tantangan khusus yang dihadapi Indonesia terkait permasalahan korupsi di bidang kehutanan.

"Pembalakan liar terjadi karena adanya daerah abu-abu dalam aturan mengenai lisensi dan perizinan," sebut BapakTrio Santoso dari Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. "Para pelaku pembalakan liar sebagian besar didukung dan dimodali oleh para pelaku kejahatan transnasional".



"Kayu ilegal diselundupkan ke Malaysia, Singapura, Jepang, Cina dan Eropa. Kayu dari Kalimantan dipanen secara ilegal, dijual ke China sedimikian rupa sebagai kayu legal, lalu dipasarkan ke Eropa atau Amerika secara sah," ujar Bapak Trio.

"Indonesia tidak bisa memerangi pembalakan liar sendiri karena praktik ini merupakan kejahatan transnasional yang terorganisir. Hal ini membuat Indonesia bergantung pada kerjasama internasional, terutama dalam memerangi perdagangan kayu ilegal dan penguatan penegakan hukum di sektor kehutanan".

Bapak Donal Fariz, Peneliti untuk Indonesia Corruption Watch berpendapat bahwa "hutan-hutan di Indonesia adalah paru-paru dunia namun juga merupakan hutan-hutan yang paling cepat menghilang di dunia. Kejahatan Hutan melibatkan sindikat kejahatan yang berbasis di banyak negara".

"Selain risiko ekologi, kejahatan hutan menyebabkan kerugian besar bagi negara. Salah satu kajian kami memperkirakan bahwa kerugian negara mendekati US $ 1 miliar pada tahun lalu - dimana estimasi ini adalah kerugian yang terjadi di Kalimantan saja," kata Bapak Donal. Menurut beliau, "Pelaku kejahatan hutan harus diadili di bawah undang-undang antikorupsi".

Untuk lebih efektif dalam upaya memerangi korupsi, para ahli menganjurkan pendekatan terpadu yang menggabungkan peningkatan kerjasama antara lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta dan publik. Mereka setuju bahwa UNCAC - dengan fokus yang komprehensif pada pencegahan korupsi, penegakan hukum yang efektif, kerjasama internasional dan pengembalian aset - dengan mudah bisa melengkapi perjanjian seperti Konvensi Basel tentang Limbah Berbahaya, Konvensi Bamako atau CITES.

Para ahli menyimpulkan dengan menegaskan adanya kebutuhan bagi negara-negara untuk mengintegrasikan strategi antikorupsi seperti transparansi dan akuntabilitas dalam undang-undang dan kebijakan mengenai lingkungan.

Dalam bab-nya di publikasi ini, Ibu Thi Thuy Van Dinh, Petugas bidang Pencegahan Tindak Kejahatan dan Peradilan Pidana dari kantor pusat UNODC di Wina, merinci berbagai ketentuan UNCAC yang perlu menjadi bagian dari undang-undang dan kebijakan mengenai lingkungan, dan menekankan bahwa: "Beberapa ketentuan dari UNCAC dapat dengan sendirinya sesuai jika dimasukkan ke dalam setiap peraturan lingkungan. Hal ini jelas akan membantu pencegahan dan peradilan korupsi yang terkait dengan lingkungan".